
Arsitektur Hijau Di Bangunan Komersial: Keberlanjutan Dalam Bisnis – Arsitektur hijau penting untuk dikembangkan di Indonesia karena struktur yang ada mencemari lingkungan. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh infrastruktur saat ini terlihat dari konsumsi energi yang tinggi dan polusi karbon. Masalah konsumsi energi yang tinggi dan polusi karbon pada infrastruktur terjadi pada bangunan komersial seperti hotel, sekolah, perkantoran dan banyak gedung.
Menurut penelitian Sugiyono (2014), pada tahun 2012 konsumsi energi bangunan di sektor komersial mencapai 78% dari total konsumsi energi. Angka ini akan terus meningkat menjadi 88% pada tahun 2035. Arsitektur hijau dirancang untuk mengurangi dampak negatif penggunaan energi pada bangunan terhadap lingkungan. Ini adalah dasar dari gerakan arsitektur hijau.
Di Indonesia, konstruksi mencemari lingkungan karena penggunaan material yang tidak tepat. Menurut penelitian Sugiyono (2014), 47% dan 65% energi yang dikonsumsi di perkantoran dan hotel digunakan untuk ventilasi. Udara memiliki dampak negatif terhadap lingkungan karena penggunaan freon, bahan utama yang digunakan. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan gas pada struktur yang ada berupa emisi karbon. Disini terlihat bahwa penggunaan arsitektur hijau diperlukan karena tingkat polusi dari bangunan yang ada terlihat jelas akibat penggunaan energi yang tidak efisien dan polusi dari penggunaan udara. Arsitektur hijau berfokus pada aspek-aspek tertentu, yaitu efisiensi energi, penggunaan material yang efisien, dan material yang tidak berpolusi yang dapat didaur ulang.
Parameter arsitektur hijau tidak rumit, karena konsep ini penting untuk struktur masa lalu dan masa depan. Struktur yang sudah digunakan dalam arsitektur hijau harus memenuhi beberapa kriteria terutama untuk pengolahan energi yang efisien, seperti penggunaan panel surya, struktur dapat digunakan kembali untuk keperluan lain, dan penggunaan bahan daur ulang mengurangi dampak terhadap lingkungan.
Besarnya pengaruh konsep arsitektur hijau dapat dijadikan acuan untuk digunakan di Indonesia. Mengurangi penggunaan energi yang tidak perlu adalah contoh dampak arsitektur hijau. Hal-hal seperti mengurangi konsumsi energi dengan merancang struktur untuk memberikan penerangan yang cukup agar penerangan tidak digunakan pada siang hari, dan merancang atap yang dapat diisolasi secara termal untuk mengurangi penggunaan udara. Banyak negara telah mengadopsi konsep arsitektur dan desain hijau, seperti Universitas Nanyang Singapura. Indonesia dapat belajar dari contoh ini untuk memperbaiki infrastruktur dan ramah lingkungan.
Konsep arsitektur hijau berbeda dengan konsep arsitektur pada umumnya. Perbedaannya terletak pada dampak struktur terhadap lingkungan. Bangunan yang menggunakan ide arsitektur hijau lebih ramah lingkungan. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Cushman dan Wakefield, yang melaporkan pengurangan hari sakit sebesar 30% dan peningkatan produktivitas karyawan. Kajian ini menjadi salah satu alasan berkembangnya arsitektur hijau di Indonesia.
Konsep arsitektur ini dapat membuat perbedaan besar bagi lingkungan dibandingkan dengan konsep dan struktur arsitektur biasa. Arsitektur hijau meningkatkan kualitas udara di lingkungan dengan memasukkan tanaman ke dalam desain struktural.
Akhirnya, arsitektur hijau adalah konsep yang akan diadopsi oleh banyak negara di masa depan untuk mengembangkan infrastruktur berkelanjutan yang diterapkan oleh Singapura. Arsitektur hijau merupakan efek positif terhadap lingkungan yang mendukung pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Berbagai penelitian telah menggali manfaat penerapan konsep arsitektur ini terhadap lingkungan. Lingkungan adalah tentang manusia, udara, dan material. Indonesia tidak boleh ketinggalan dalam hal ini. Oleh karena itu, arsitektur hijau harus dikembangkan dalam desain dan konstruksi infrastruktur di Indonesia.
Buditama, A. (2017). Meningkatkan efisiensi energi di lingkungan binaan Indonesia. perlunya reformasi hukum. Jurnal Inovasi Konstruksi Volume 1 Nomor 1.
Rumah kaca Jakarta. (2018, 3 September). Menghirup oksigen dari 5 bangunan berkonsep hijau Diambil dari Green Building Jakarta: https://greenbuilding.jakarta.go.id/news/2018/09/03/menghirup-oksigen-dari-5- dining-concept-green/Easier and lebih cepat untuk merancang rumah ramah lingkungan. sekarang adalah , dan ketersediaan alat yang akan menjadi panduan bagi produsen dan pengembang untuk mengimplementasikan proyek mereka.
IFC (International Finance Corporation), bagian dari Bank Dunia, bekerja sama dengan Dewan Bangunan Hijau Indonesia (GBC Indonesia) telah meluncurkan program sertifikasi EDGE untuk mendorong pertumbuhan perumahan yang berkelanjutan.
EDGE (Excellence in Design for Greater Improvement) adalah sistem peringkat bangunan hijau yang menunjukkan bahwa praktik perlindungan bangunan dan lingkungan di negara berkembang tidak bertentangan dengan tujuan bisnis.
EDGE menyediakan perangkat lunak gratis yang memungkinkan arsitek dan pabrikan memilih solusi teknis, dan dengan biaya tambahan, penghematan energi dapat dicapai sebelum waktu pemulihan biaya tambahan.
Desain yang lebih baik akan mengurangi penggunaan energi dan air, sehingga mengurangi tagihan listrik dan air bagi pemilik dan penyewa.
“Melihat pertumbuhan sektor konstruksi di Indonesia yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir, akan ada kerugian lingkungan dan finansial jika kita tidak melaksanakan urban development,” ujar Andreas Suhono, CEO Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Kami mendorong investor, perusahaan pengembang, dan pekerja untuk membangun gedung yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dengan memilih standar sertifikasi sukarela seperti EDGE.”
Di Indonesia, bangunan saat ini mengkonsumsi 30 persen dari seluruh konsumsi energi, dan angka ini akan meningkat menjadi 40 persen pada tahun 2030. .
“EDGE adalah alat yang sederhana, cepat, dan terjangkau untuk mendorong pengembang merancang bangunan yang lebih baik,” ujar Naning Adivoso, Presiden GBC Indonesia. “Kami melihat EDGE sebagai pelengkap GREENSHIP by GBC Indonesia, yang akan membantu meningkatkan jumlah bangunan hunian dan komersial yang menguntungkan.”
Dalam tujuh tahun ke depan, GBC Indonesia akan mengembangkan pasar EDGE dan bertindak sebagai lembaga sertifikasi pihak ketiga. IFC dan GBC Indonesia bertujuan untuk membiayai 20 persen proyek pembangunan baru di Indonesia, setara dengan 80.000 unit rumah. Sertifikat pemasangan itu akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 1,2 juta ton per tahun, membatasi konsumsi energi sebesar 500 megawatt jam, dan menghemat hampir $200 juta per tahun pada tahun 2021.
“Dengan memperkenalkan EDGE, IFC menghadirkan solusi ke pasar yang menunjukkan penghematan biaya untuk bangunan hijau,” kata Prashant Kapur, Kepala Bangunan Hijau di IFC. “Kini saatnya mendorong adopsi massal proyek bangunan hijau di Indonesia.”
Sebelumnya, pada 4 Juni 2015, EDGE juga diperkenalkan pada Indonesia Partnership Workshop yang diadakan di Indobuildtech Jakarta 2015.
Lokakarya tersebut membahas perkembangan undang-undang dan perangkat untuk mendukung implementasi proyek Green Building di Indonesia, dengan pembicara: Dian Prasetyawati, ST, MT, MSc, Dirjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Publik dan Publik, Republik Indonesia Indonesia. , Prasetyoadi, S.T., MUDD., IAI, Direktur Pengembangan Rating Green Building Council Indonesia dan Ir. Yatmika Adi Suryabrata, Ph.D., sebagai Konsultan Bangunan Hijau untuk International Finance Corporation (IFC), World Bank Group.
Jakarta Interior Design and Furniture Exhibition (JIFEX) merupakan pameran furnitur dan seni serta sentuhan desain interior dan kerajinan yang menyasar pasar internasional dan domestik. . berteman
Juga dikenal sebagai arsitektur ekologis atau arsitektur lingkungan. Pengertian arsitektur hijau adalah proyek desain dan pengembangan berdasarkan prinsip ekologi dan perlindungan lingkungan untuk menghasilkan bangunan yang efisien dan ramah lingkungan.
Model konstruksi ini membutuhkan sistem planet untuk beradaptasi dengan lingkungan “hijau” untuk membangun gedung baru atau merenovasi gedung yang sudah ada. Saat membangun rumah, arsitek banyak menggunakan energi dan sumber daya alam.
Asal muasal konsep ini adalah sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan. Hal ini juga ditunjukkan dengan penggunaan bahan alam dan penggunaan bahan daur ulang sehingga prosesnya tidak merugikan atau merusak lingkungan.
Melalui penilaian yang berbeda di setiap negara. Misalnya, peringkat bangunan hijau di Amerika adalah LEED (Leadership in Energy and Environmental Design), di Jepang disebut CASBEE (Comprehensive Assessment System for Built Environment Performance), dan di Inggris disebut BREEAM (The Building Publication Research. Lingkungan ). metode evaluasi).
Peringkat bangunan hijau di Indonesia ditentukan oleh kelompok yang disebut GBCI (Green Building Council of Indonesia) dan sistem peringkat yang disebut Greenship.
Salah satu ciri arsitektur hijau adalah penggunaan material alam dan material alami. Apa standar dan prinsipnya?
Kriteria pertama dari arsitektur hijau adalah desain bangunan sepenuhnya disesuaikan dengan lingkungan tanpa mengubah lingkungan yang ada. Insinyur menggunakan energi matahari sebagai sumber energi dibandingkan dengan listrik.
Selain itu, rumah yang menggunakan konsep ini akan memiliki banyak bukaan untuk mengurangi penggunaan air conditioning (AC). Rumah kaca juga tidak menggunakan pemanas buatan, karena sinar matahari menembus lubang udara.
Memperhatikan interaksi antara bangunan dan tapaknya, baik dari segi struktur, bentuk maupun fungsinya. Interaksi ini tidak boleh merusak lingkungan.
Untuk mencapai hal tersebut, perencanaan proyek arsitektur hijau dilakukan dengan menyiapkan desain sesuai dengan kondisi lahan. Selain itu, desain arsitektur vertikal lebih mungkin dipertimbangkan jika tapak bangunan terbatas.
Dalam hal ini pemilik dan orang rumah, seluruh rumah. Karena kedua hal ini saling berkaitan erat.
Jadi tidak hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga baik untuk orang-orang yang tinggal di rumah Anda.
Dari segi material, green building dibangun dengan mengoptimalkan material yang ada. Untuk alasan ini, penggunaan kembali dan daur ulang material harus dipertimbangkan sejak tahap desain struktur baru, dan jika terjadi kerusakan, material tersebut harus mudah diambil kembali.