Arsitektur Kolonial Di Indonesia: Jejak Warisan Belanda

Arsitektur Kolonial Di Indonesia: Jejak Warisan Belanda – Dibangun pada tahun 1894 seperti yang ditunjukkan oleh prasasti di atas gedung. Dikatakan Anno 1894. Menurut penduduk setempat, bangunan kokoh ini dulunya adalah rumah seorang taipan atau pengelola perkebunan pada zaman Belanda.

“Dulu disebut permainan. Tuan Belanda Meneer tinggal di rumah itu. Seperti itu sejak awal. Tidak berubah,” kata Misto, 78, yang mengaku Aborigin dan lahir di daerah itu. .

Arsitektur Kolonial Di Indonesia: Jejak Warisan Belanda

Bangunan Loji Belanda biasanya terpisah dari rumah para pekerja. Letaknya tak jauh dari pabrik yang berfungsi sebagai tempat pengolahan kopi.

Menyelami Sejarah Menara Air Peninggalan Belanda Di Banda Aceh

Secara arsitektural, Dutch Game bertumpu pada fondasi tembok beton. Tidak semua dari dinding. Tapi dicampur dengan kayu dan bambu. Dengan pintu dan jendela, mereka terlihat kuat dan panjang.

Blawan Game saat ini beroperasi sebagai rumah dan hotel yang disewakan untuk umum. Namanya Catimor Homestay yang dikelola oleh PTPN XII.

Bangunan besar dengan luas sekitar 200 meter persegi ini dulunya berbentuk open sale. Sebelumnya bangunan ini disebut “braak”. Dibangun sekitar tahun 1890.

Artinya pada awal pemerintah kolonial Belanda mendirikan perkebunan kopi di kawasan tersebut, Pesanggrahan ini dijadikan sebagai base camp atau tempat tinggal sementara para pekerja.

Benteng Vredeburg Peninggalan Belanda Yang Megah Di Yogyakarta

Buruh-buruh yang khusus dibawa Belanda dari Madura bertugas membuka hutan di sekitarnya dan kemudian menanami kawasan itu dengan kopi.

Seperti di gedung lain, selalu ada kompor di dalamnya yang berfungsi sebagai perapian. Karena daerahnya sangat dingin. Dalam beberapa bulan, suhu mencapai 2-4 derajat.

Bangunan peninggalan Belanda yang bersejarah ini terletak di lereng Gunung Raung. Selain tampilannya yang eksotis, arsitektur bangunan ini seolah berada di negara Eropa.

Bangunan berlantai dua ini terlihat kokoh dan anggun bak istana. Meski struktur fisik bangunannya tidak seluruhnya dibangun dengan dinding, melainkan dipadukan dengan kayu.

Rumah Kapiten Phang Tjong Toen, Rumah Tua Peninggalan Eks Mandor Timah

Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas sekitar 2 hektar ini bernama Guest House 1927 Jampit. Karena dibangun tahun itu sebagai rumah peristirahatan para menteri Belanda dan keluarganya di perkebunan.

Guest House 1927 Jampit berlokasi di afdeling Jampit, Kebun Kalisat/Jampit, PTPN XII. Secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Jampit, Kecamatan Ijen, Bondowoso.

Wisma Jampit dibangun sekitar tahun 1927. Seiring dengan puncak kekuasaan Belanda dalam mengelola perkebunan kopi arabika di kawasan lereng Gunung Raung.

Istilah ‘rool’ masih berlaku sampai sekarang di kawasan perkebunan ini. Khususnya absensi pekerja yang biasanya dilakukan pada pukul 5-6 pagi.

Sentral Telepon, Situs Sejarah Peninggalan Belanda Di Aceh

Selama proses rolling, mandor berdiri di depan barisan pekerja yang berkumpul. Mereka dipanggil satu per satu. Pekerja yang ada cukup mengangkat tangan saat dipanggil.

Pemandangan seperti itu mengingatkan pada film-film lama, yaitu para empu Belanda yang selalu berdiri di hadapan pribumi. Saat penduduk setempat berkumpul, keberadaan Indonesia tidak pernah lepas dari sejarah. Nenek moyang kita benar-benar dijajah begitu lama. Setidaknya penjajah Belanda menguasai Nusantara paling lama, sekitar 3 abad.

Pada masa itu, penjajah memerintahkan dan memaksa rakyat Indonesia untuk menyerahkan semua tenaga kerja gratis mereka dalam pembangunan jalan, fasilitas umum, dan bangunan lainnya.

Banyak nyawa hilang selama waktu itu. Segala upaya yang dilakukan rakyat tidak membawa keuntungan apapun, yang diuntungkan hanyalah pihak kolonial.

Sejarah Gedung Jasindo Kota Tua, Warisan Kolonial Belanda

Namun, setidaknya Anda bisa merasakan manfaat peninggalan kolonial Belanda tersebut. Ambil contoh, pembangunan rel kereta api. Dengan fasilitas ini, Kawan memiliki akses ke seluruh wilayah di Pulau Jawa.

Selain transportasi, ada juga benteng yang bisa menjadi tempat teman-teman belajar tentang pengalaman nenek moyangnya pada masa penjajahan. Benteng ini juga bisa menjadi sarana Kawan untuk menikmati nilai seni kelas satu. Berikut beberapa benteng peninggalan kolonial Belanda yang terbentang dari Aceh hingga Papua.

Benteng Belgica terletak di Pulau Neira di Maluku dan erat kaitannya dengan sejarah penaklukan Maluku oleh pemerintah Portugis. Sesaat sebelum tahun 1512, mereka datang ke Banda untuk membeli rempah-rempah dan membangun Benteng Nassau.

Pada tahun 1609, dibuat kesepakatan antara orang kaya Banda dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang menetapkan monopoli VOC atas rempah-rempah di Banda. Karena sangat merugikan, masyarakat setempat pun menolak mentah-mentah kesepakatan tersebut. Baru pada akhirnya VOC termotivasi untuk membangun kembali Benteng Nassau yang sebelumnya telah runtuh.

Jejak Peninggalan Belanda Di Kebun Kopi Bondowoso

Selama pembangunan kembali Benteng Nassau, Pieterszoon Verhoeven dan beberapa tentaranya tewas. Untuk mencegahnya, VOC membangun Benteng Belgica I dan Benteng Neira di Pulau Neira pada tahun 1611.

Kedua benteng tersebut juga mengalami perubahan fungsi menjadi pangkalan militer Belanda. Sebagai satu-satunya bangunan tempat Benteng Neira dibangun di atas Benteng Belgica I, pangkalan militer ini sangat kokoh, ideal dan menjadi tempat pertahanan terbaik bagi pasukan kolonial.

Hampir setengah abad kemudian, kedua benteng ini dibongkar dan diganti dengan benteng baru bernama Fort Belgica II. Atas perintah Cornelis Speelman, utusan penjajah Belanda, Benteng Belgica II direnovasi pada tahun 1667 menjadi benteng baru bernama Benteng Belgica III.

Terletak di kota Bukittinggi, benteng ini menjadi saksi bisu Perang Padri yang menelan banyak korban jiwa. Nama “de Kock” pada benteng ini diambil dari nama tempat berdirinya benteng tersebut, yaitu bukit Jirek.

Museum Bali, Rekaman Jejak Sejarah Perkembangan Budaya Pulau Dewata

Benteng ini dibangun oleh Kapten Bauer pada tahun 1825 sebagai syarat untuk Hendrik Merkus Baron de Kock, Gubernur Jenderal India yang juga menjabat sebagai komandan militer saat itu.

Selanjutnya, Fort de Kock dibuat menjadi pangkalan militer Belanda dan pribumi melawan kaum Padri. Dilaporkan oleh

, perjanjian kerja sama antara keduanya berakhir dengan kerugian di pihak penduduk asli. Akibatnya, Kerajaan Pagaruyung dan Puri de Kock pun runtuh.

Runtuhnya benteng ini tidak menyisakan apa-apa selain sisa-sisa parit di dekatnya. Namun, terdapat bangunan hijau di dasar benteng yang bisa digunakan pengunjung untuk melihat pemandangan. Orang-orang juga menjadikan arena ini sebagai tempat untuk mengabadikan momen mereka saat mereka menemukan sejarah Perang Padre.

Jejak Kolonial: Februari 2019

Fort du Bus adalah sebuah benteng yang didirikan dan diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1828 di Desa Lobo, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, bertepatan dengan hari lahir Raja Belanda Willem III.

Nama “du Bus” pada benteng ini berasal dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa saat itu, yaitu Burggraaf du Bus de Gisignies. Benteng ini dibangun untuk menghalau pergerakan pasukan kolonial Inggris dari selatan (Australia).

Sayangnya, Fort du Bus hanya berfungsi selama delapan tahun, tepatnya hingga tahun 1835. Hal itu karena merebaknya berbagai penyakit berbahaya yang berpotensi menyebabkan kematian. Oleh karena itu, pihak kolonial memutuskan untuk mengungsi dan meninggalkan benteng ini.

Namun, bentuk fisik Fort du Bus bertahan hingga tahun 1836. Baru pada tahun inilah benteng tersebut hancur total. Sebuah monumen berdiri di dasar benteng, yang merupakan saksi bisu sejarah pendudukan kolonial.

Benteng Vastenburg: Bangunan Kokoh Di Pusat Kota Surakarta

Benteng terakhir yang memberikan kesan mistis dan menakutkan. Benteng Pendem Cilacap merupakan benteng yang dibangun oleh kolonial Belanda sebagai posisi pertahanan mereka di pesisir pantai di daratan yang menjorok ke laut, sesuai dengan asal namanya Kustbatterij op de Landtong te Cilacap.

Benteng ini pernah diduduki oleh pasukan Jepang pada tahun 1942, namun berhasil direbut dan direbut kembali oleh pasukan Belanda pada akhir tahun 1945-1950. Hingga akhirnya, Pendem diambil alih oleh Indonesia dan digunakan sebagai tempat latihan Tentara Nasional Indonesia (TNI). .

Setelah itu, Benteng Pendem mengalami pemugaran dan penataan ulang pada tahun 1987 dan menjadi salah satu tujuan wisata Cilacap. Bangunan berusia seabad ini masih berdiri tegak dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat.

Membaca sejarah pembangunan benteng kolonial Belanda mungkin berterima kasih atas keadaan Anda saat ini. Selain itu, mengetahui nama-nama benteng bisa membuat Anda bangga pada diri sendiri dengan kekayaan budaya Indonesia!*

Berikut Ini Daftar 6 Bangunan Peninggalan Masa Penjajahan Belanda

Label: Kabar baik Indonesia Kabar baik dari Indonesia Pelajari lebih lanjut tentang Benteng Benteng Indonesia Belgica Fort de kock Fort du bus Benteng pendem Cilacap Benteng Peninggalan Kolonial Belanda Kemanusiaan Kolonial Belanda

Jika Anda ingin membaca lebih banyak postingan dari Kawan GNFI Official, silakan klik tautan ini ke Arsip Artikel Resmi Kawan GNFI.

Terima kasih telah melaporkan penyalahgunaan yang melanggar aturan atau praktik penulisan di GNFI. Kami berusaha menjaga agar GNFI tetap bersih dari konten yang tidak termasuk di sini. Gedung Jasindo di Kota Tua Jakarta merupakan bangunan peninggalan kolonial, bekas Kantor Dagang Jawa Barat tahun 1912-1920. Foto: Erik Muhammad/HR

Menarik untuk ditelusuri bersama sejarah bangunan Jasindo. Karena ternyata bangunan tua zaman kolonial ini dulunya adalah Kantor Wilayah Perdagangan Jawa Barat (Jawa Barat). Pusat pengumpulan rempah-rempah dari daerah Priangan sebelum berlayar ke benua Eropa.

Benteng Peninggalan Kolonial Belanda Ini Belum Banyak Orang Ta

Gedung Jasindo terletak di kawasan cagar budaya Kota Tua Jakarta. Pada masa penjajahan Hindia Belanda, kawasan ini dikenal sebagai

Saat ini gedung Jasindo merupakan kantor PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero). Tempat tersebut masih beroperasi dan merupakan bangunan yang unik

Oleh karena itu, sejarah ini harus dilestarikan melalui berbagai kebijakan. Salah satunya menggunakan peraturan pemerintah yang mengacu pada perlindungan nilai sejarah dan budaya bangsa. Lantas seperti apa sejarah lengkap gedung Jasindo beserta gambarannya.

Bangunan tua yang indah ini didirikan pada tahun 1920. Namun baru-baru ini, beberapa sejarawan mengklaim bahwa bangunan Jasindo sudah ada sejak tahun 1912.

Buku Jejak Arsitektur Kolonial Belanda Di Ternate

Namun perselisihan tentang tahun pembangunan gedung Jasindo menyebabkan fakta bahwa gedung ini sudah ada sejak abad ke-20 Masehi.

Gedung Jasindo merupakan kantor niaga wilayah Jawa Barat yang berarti pusat administrasi perdagangan barang ekspor seperti rempah-rempah.

Gedung Jasindo juga terutama menangani distribusi rempah-rempah dari dan ke kawasan Priangan hingga ke benua Eropa. Semacam badan cukai rempah-rempah yang mengurus izin ekspor.

Bahkan beberapa sejarawan Indonesia mengklaim bahwa bangunan ini merupakan gudang yang berdiri di pusat peradaban rempah-rempah di Hindia Belanda.

Jejak Pemberantasan Tbc Dari Zaman Kolonial Di Rspg Cisarua » Mediakom

Oleh karena itu, bangunan Jasindo kaya akan nilai sejarah yang melestarikan memori kolektif bangsa. Bangunan itu sekarang menjadi bagian dari warisan kolonial yang tak terlupakan. Gedung Jasindo dilindungi UU Cagar Budaya.

. Jenis konstruksi ini sama seperti rumah, kantor,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id
blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id blog.sch.id